Thursday, February 22, 2007

PILKADES dan Gagasan Pembaharuan Desa

Oleh M.N. Latief

Dulu, waktu masih mahasiswa, kami sering membandingkan kondisi demokrasi di kampus dan desa. Waktu itu menurut kami, kehidupan demokrasi di desa jauh lebih maju dari pada di kampus. Masyarakat desa memilih secara langsung pimpinan mereka dan mengontrol kinerjanya melalui BPD yang independen. Di kampus, rektor --terutama PT yang belum menjadi BHMN-- merangkap jabatan, sebagai eksekutif juga sebagai ketua Senat Universitas, lembaga yang salah satu tugasnya melakukan kontrol terhadap kinerja Rektor.
Setelah lulus dan kemudian bekerja, obrolan tersebut saya pikir layak untuk direnungkan kembali. Melihat realitas kehidupan pedesaan ternyata tidak segampang hanya dengan menggunakan kaca demokrasi elektoral. Menurut pengamatan saya, kompleksitas kehidupan masyarakat pedesaan juga harus dilihat dalam kaca mata yang lain, misalnya ekonomi dan politik.

Sebentar lagi, Kabupaten Banyumas menyelenggarakan dua hajat yang penting bagi demokrasi. Pertama Pilkades, rencananya akan dilaksanakan tahun ini, waktu pelaksanaannya secara pasti belum ditentukan, mungkin serentak, ingin mengulang keberhasilan kabupaten tetangganya Purbalingga. Hajat yang ke dua adalah PILKADA, pemilihan bupati langsung, Juni 2008, ini hajat yang lebih besar, pemain-pemainnya tambah banyak dan semakin ruwet urusan politiknya.

Dalam momentum menjelang PILKADES ini saya ingin memaknainya lebih dalam, bukan sekedar memuaskan hajat demokrasi elektoral, namun lebih jauh memaknainya sebagai peluang untuk memajukan kehidupan pedesaan, terutama petani pedesaan. Lebih khusus lagi memaknai jabatan kepala desa, sebagai jabatan politik yang dapat memajukan masyarakat petani yang menjadi mayoritas penduduk. Kepala desa sudah waktunya untuk dimaknai bukan sekedar kepanjangan tangan administrasi pemerintahan supradesa.

Kemiskinan Pedesaan
Di akhir tahun 2006, World Bank mengeluarkan hasil risetnya yang mencengangkan. Menurut World Bank sekitar 49 persen dari total penduduk Indonesia atau 109 juta jiwa masuk dalam kategori miskin. Sementara jumlah penduduk miskin menurut angka resmi pemerintah per agustus 2006 adalah 39,1 juta jiwa atau 17,75 persen dari total penduduk Indonesia. Tidak usah bingung menentukan mana yang lebih kita percaya, apapun metode dan indikator data tersebut, jumlah penduduk miskin dan persoalan pengangguran yang tinggi adalah fakta yang tidak boleh dianggap enteng. Dari jumlah tersebut, sebagian besar berada di wilayah pedesaan, BPS misalnya menyebut 24,8 juta jiwa dari angka kemiskinan berada di pedesaan, penduduk miskin di pedesaan tersebut bekerja di sektor pertanian sebagai petani maupun buruh tani.
Paparan angka diatas menunjukan bahwa sekarang kita sedang “menikmati” hasil dari model pembangunan yang menafikan posisi desa. Pada dekade tahun 50-an, teori pembangunan melihat industrialisasi sebagai satu-satunya jalan keluar dari keterbelakangan. B. Higgins yang dikutip oleh Mubyarto mengungkapkan bahwa masalah yang dihadapi oleh masyarakat pertanian Indonesia tidak dapat dipecahkan dengan program-program pertanian saja. Menurutnya, hanya industrialisasi yang mampu mengubah pengangguran tersembunyi menjadi kerja yang produktif.

Memang industrialisasi di sektor manufaktur, perkebunan, pertanian, kehutanan berkembang dan pertumbuhan ekonomi meroket. Tapi, model pembangunan yang “kota sentris” mengorbankan penduduk desa yang hanya menjadi suplayer tenaga kerja murah dan menghasilkan produksi pertanian yang diberi nilai tukarnya rendah dibandingkan dengan produk industri. Akibatnya, akumulasi kapital pun mengalir ke kapitalis asing dan kesenjangan ekonomi semakin melebar antar sektor perkotaan dengan pedesaan, sektor formal dengan informal, sektor kapitalis dengan prakapitalis.

Dalam kondisi ini tidak mungkin terjadi akumulasi kapital pada masyarakat pedesaan atau petani, yang memungkinkan mereka untuk mengembangkan usaha tani. Perhatian pemerintah yang hanya menekankan pada swasembada beras, juga menghancurkan kreatifitas petani untuk melakukan diversifikasi komoditas tanaman. Parahnya, fasilitas kredit yang mereka perlukan dipenuhi bukan dari lembaga keuangan formal, namun dari lembana informal yang semakin menjerat mereka dalam kemiskinan.

Paradigma pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi dengan mengandalkan modal telah menghancurkan pondasi ekonomi desa. Kegiatan ekonomi yang dijalankan adalah bentuk kegiatan yang mendorong laju pertumbuhan dan berpusat di kota, akibatnya kota menjadi terbebani dengan limpahan tenaga kerja dari pedesaan. Sementara desa terperosok dalam kubangan kemiskinan dan tidak lagi sebagai elemen penting pertumbuhan ekonomi. Sektor agraris tertinggal, parahnya desakan urbanisasi telah menjadikan desa miskin sumber daya manusia yang potensial. Selain itu terjadi pula kekerasan ekonomi negara yang menghancurkan sistem perekonomian yang dibangun oleh petani, yaitu memaksakan revolusi hijau, coorporate farming, membiarkan benih transgenik menggantikan benih lokal. Akibatnya hancurlah bangunan ekonomi petani yang arif dan diganti dengan ambisi pertumbuhan ekonomi dan pasar bebas.

PILKADES dan Pembaharuan Desa
Otonomi daerah, setidaknya membuka peluang terbukanya saluran-saluran politik masyarakat yang selama ini dihilangkan. Pelaksanaan otonomi daerah harus mempunyai makna pemberdayaan masyarakat dalam aspek ekonomi (akses terhadap sumberdaya produktif utamanya lahan) politik (sistem pengambilan keputusan) dan sosial (kelembagaan masyarakat) hingga pada tingkat desa, serta aspek lingkungan (sustainability). Desentralisasi dapat dimaknai sebagai sesuatu yang menawarkan kesadaran pada kita bahwa ke depan, pembangunan harus dijiwai dan mengakomodasi nilai-nilai lokal, kultural dan historis masyarakat setempat ke dalam bentuk partisipasi seluas-luasnya.

Paralel dengan semangat ideal desentralisasi tersebut, ide tentang pembaharuan desa menemukan signifikansinya pada perbaikan kehidupan desa. Pembaharuan desa dilakukan untuk mengawal perubahan relasi ekonomi politik desa secara internal maupun eksternal yang memiliki tatanan kehidupan baru yang demokratis, mandiri dan adil. Dengan demikian, pembaharuan desa hendak melakukan konfrontasi terhadap ketimpangan ekonomi politik desa maupun krisis sosial di desa. Pembaharuan desa juga dilakukan dalam upaya mendorong masyarakat belajar secara kritis untuk mengenali faktor-faktor yang mempengaruhi hidup mereka, menempa kapasitas, membangkitkan potensi dan kekuatan lokal serta mengembangkan modal sosial, yang semua ini menjadi basis bagi demokrasi dan otonomi desa.
Pilkades, seperti hajatan demokrasi yang lain sebenarnya juga membuka jalan bagi pembaharuan desa. Hasil Pilkades, sesungguhnya jabatan politis yang kuat legitimasinya dan berdaulat. Dengan kekuasaannya Kades mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan peraturan (Perdes) dengan persetujuan BPD.

Semacam kontrak politik, masyarakat pedesaan juga bisa memanfaatkan momentum PILKADES untuk mencari sosok Kepala Desa yang penuh komitmen untuk pembaharuan desa, daripada terus menerus dibohongi janji-janji semu politik uang. Sebagai perbandingan beberapa desa di Garut Jawa Barat telah sukses menyusun Perdes Tata Guna dan Tata Kelola Lahan, yang membuka akses petani-petani miskin pada faktor produksi tanah, dan menjamin kelangsungan usaha tani. Perdes ini merupakan hasil kontrak politik Kades terpilih dengan salah satu organisasi tani di desa tersebut. Inilah bukti bahwa masyarakat desa bisa menjadi pemeran aktif dalam hajat demokrasi, bukan hanya sekedar objek mobilisasi suara yang hanya diganti dengan beberapa lembar rupiah. Masyarakat desa bisa berdaya dan mempunyai posisi tawar secara politik sejak awal pemilihan Kades.

Tuesday, February 6, 2007

Cerita Dari Darmakeradenan : Berorganisasi Menguatkan Perlawanan

Dari arah barat, sekitar 15 truk dan beberapa mobil bak terbuka berdatangan ke alun-alun Purwokerto. Sekitar 1000-an orang menumpang di atasnya. Mereka adalah warga Desa Darmakeradenan, Kecamatan Ajibarang, Banyumas yang akan menggelar demonstrasi, menuntut pemenuhan hak atas tanah. Pasalnya, di desa mereka terdapat perkebunan seluas 227,600 ha yang dikuasai oleh PT. Rumpun Sari Antan IV, tanah tersebut adalah tanah leluhur mereka dimasa lalu. Bertepatan dengan Hari Tani tahun 2001, warga Darmakeradenan tumpah ruah di alun-alun Purwokerto, menuntut penghapusan Hak Guna Usaha PT. Rumpun Sari Antan IV dan mengembalikan hak mereka atas tanah tersebut.
Jauh sebelumnya, pada era 1890-an pemerintah kolonial Belanda menaikan pajak tanah menjadi 30 sen per 7.000 m2 di seluruh tanah pertanian Hindia Belanda. Masyarakat Darmakeradenan merasa pajak tersebut terlalu besar dan tidak sebanding dengan hasil tanah garapan. Atas dasar musyawarah desa, Lurah Purwa, menyewakan tanah pada pengusaha Belanda bernama Tuan Maryon. Dengan dasar Hak Erpacht No. 1 tanggal 15 Juli 1892 Verponding No. 5 dengan luas 230,10 ha dengan tanggal expirasi 15 juli 1967, tanah itu dijadikan kebun karet.
Sesungguhnya, semua bisa berjalan sesuai rencana, 15 Juli 1967 tanah tersebut seharusnya sudah kembali menjadi milik warga. Namun, malapetaka politik di tahun 65 membuyarkan. Tentara menyerbu perkebunan dan membubarkan SARBUPRI, organisasi buruh yang beranggotakan hampir seluruh pekerja perkebunan karet karena diduga SARBUPRI adalah serikat buruh underbow PKI. Semua anggota serikat melarikan diri dari kejaran tentara, termasuk Tan Giok Kien pengelola perkebunan, takut dituduh sebagai pendukung partai yang sedang melancarkan kudeta.
Setelah penyerbuan tentara, sebulan lebih tidak ada orang yang berani mengelola perkebunan. Akhirnya tentara mengambil alih untuk dijadikan salah satu aset mereka. Kolonel Raspin, pejabat dari Kodam IV Diponegoro, mengambilalih perkebunan dan mengamankannya. Kecurangan mulai terjadi. Rawan, kepala desa Darmakeradenan pada waktu itu dipaksa untuk menandatangani surat perjanjian di Semarang. Isinya masih misterius sampai sekarang. Sejak saat itu Yayasan Rumpun Diponegoro (YARDIP) menjadi pemilik perkebunan dan bekerjasama dengan Tek Wan seorang pengusaha Cina. YARDIP menyewakan perkebunan kepada PT. Rumpun Sari Antan IV salah perusahaan yang bernaung dalam bendera PT. Astra Agro Lestari pada tahun 1975 sampai sekarang.
Awal Kebangkitan
Pengambilalihan tanah perkebunan oleh tentara menimbulkan banyak kekecewaan. Menurut Darsum, telah terjadi penyalahgunaan wewenang. “Saya sudah tidak lagi bisa percaya pemerintah, apalagi tentara, mereka mereka bilang pemilik tanah ini adalah tentara, kapan mereka beli? Dari siapa?“ Ujarnya. Menurutnya sejak tanah perkebunan kosong tanpa pengelola, masyarakat Darmakeradenan tidak berani menggarap kebun, karena selalu dijaga tentara dan takut dianggap PKI. Hal ini menunjukan bahwa tentara memang mempunyai keinginan untuk menguasai kebun.
Kenyataan ini membuat masyarakat Darmakeradenan mempunyai pikiran lain. Mereka tidak lagi mengharap belas kasih pemerintah, sejarah telah membuktikan bahwa mengharap kebaikan hati pemerintah hanya membuang waktu tanpa kepastian dan menghabiskan kesabaran. Warga Darmakeradenan berkeyakinan bahwa hak atas tanah perkebunan harus diperjuangkan, agar pemerintah menyadari kenyataan bahwa masyarakat Darmakeradenan berhak atas tanah perkebunan.
Sejak tahun 1999, mereka aktif menggalang kekuatan dengan berorganisasi. Sampai saat ini tercatat ada 10 kelompok tani yang aktif melakukan kegiatan pengorganisasian selain berusaha mengembangkan pertanian lahan kering. Kelompok tani kemudian bergabung menjadi Serikat Tani Amanat Penderitaan Rakyat (Setan Ampera).
Mendirikan Setan Ampera bagi warga Darmakeradenan adalah keputusan penting saat mereka tidak lagi dapat mengandalkan struktur pemerintahan yang ada. Dulu pernah, pemerintah desa membantu penyelesaian kasus, namun akhirnya hanya kisah pengkhianatan yang dialami. Kepala Desa mundur teratur setelah PT. RSA mengerahkan pelobinya. “Tidak akan berubah nasib suatu kaum, jika bukan kaum itu sendiri yang mengubahnya“ ujar Katur Setia Budi, Ketua Setan Ampera mengutip firman Tuhan yang menjadi inspirasi mereka. Hasilnya, sampai sekarang sudah 110 ha dari 227,600 ha lahan perkebunan berhasil dikuasai.
Di lahan seluas 110 ha itulah sekarang berkembang rupa-rupa tanaman pertanian, mulai tanaman pangan, hingga kayu keras menjadikan lahan tersebut hijau dan subur. Berbeda ketika tanah tersebut dulu ditelantarkan oleh PT Rumpun Sari Antan. Lahan tersebut kosong, tak berproduksi bahkan mengancam keselamatan warga karena posisinya yang miring dan gundul.
Masalah Dalam Organisasi
Apakah setelah Setan Ampera berdiri perjuangan berjalan tanpa hambatan? Tentu tidak. Semakin gencar Setan Amperta melakukan aktifitas perjuangan, semakin banyak hambatan yang muncul. Tiap hari anggota-anggota Setan Ampera harus menemui masalah dengan mandor perkebunan, mendapati tanamannya rusak sampai intimidasi. Bahkan warga desa diserbu polisi yang mengamankan kantor perkebunan dari demonstrasi warga.
Beberapa hal di atas adalah hambatan dari luar organisasi. Penelitian yang dilakukan oleh Loufikar Anwar, menunjukkan problem internal organisasi dan sikap masyarakat Darmakeradenan dalam sengketa agraria. Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman ini mengungkapkan bahwa masyarakat Darmakeradenan terbelah dalam menyikapi sengketa agraria. Golongan pertama adalah masyarakat yang bergabung dengan Setan Ampera. Mereka melakukan perebutan dengan menggarap lahan yang ditelantarkan oleh perkebunan. Golongan kedua adalah masyarakat yang tidak tergabung dalam Setan Ampera. Golongan ini kurang lebih sama dengan golongan ketiga yaitu masyarakat yang tidak sepakat dengan organisasi dan cenderung apriori dengan program-program Setan Ampera.
Penelitian ini menunjukan bahwa Setan Ampera belum berhasil merangkul segenap elemen masyarakat desa untuk sepikiran dengan organisasi. Masih banyak anggota masyarakat yang belum tersentuh propaganda organisasi. Mereka belum sepenuhnya memahami arti penting keberadaan organisasi bagi anggota dan masyarakat lain.
Organisasi yang dicintai masyarakat
Dalam perjuangan, dukungan dari banyak pihak sangat berarti. Tidak ada organisasi yang bisa berjalan sendiri, pasti organisasi akan membutuhkan dukungan baik dari masyarakat luas, organisasi lain, bahkan pemerintah.
Ada beberapa irisan dalam masyarakat yang berperan dalam pencapaian tujuan organisasi. Masyarakat umum di wilayah kasus adalah golongan potensial yang harus didekati. Mereka bisa memberikan dukungan pada kemenangan organisasi dan bisa melindungi anggota jika terjadi masalah.
Kondisi seperti ini bisa tercipta jika organisasi juga memikirkan tentang konstribusinya pada masyarakat umum di desa. Pembangunan desa, pemerintahan desa yang bersih, jujur dan aspiratif juga harus diperjuangkan oleh organisasi karena hal tersebut adalah kebutuhan seluruh masyarakat. Jika kebutuhan masyarakat di desa dapat diperjuangkan oleh organisasi, maka sesungguhnya organisasi juga sedang berjuang untuk dirinya sendiri. Simpati masyarakat desa secara umum akan semakin mempermudah pencapaian tujuan organisasi. Sederhananya organisasi harus bertransformasi menjadi organisasi masyarakat desa, organisasi yang dimiliki oleh segenap masyarakat desa, bukan hanya anggota-anggota yang terlibat dalam sengketa agraria.
“Ngemben nek tiba mangsane, tanah kiye arep bali maring wong Darma” ujar Man Sirun. Dalam bahasa Indonesia ujaran Man Sirun kurang lebih berarti “Kelak akan tiba waktunya, tanah ini (perkebunan) kembali menjadi milik orang Darmakeradenan“. Harapan ini menyiratkan optimisme dan keteguhan sikap dalam perjuangan.[]

(our Friend) Mas Ratno yang Belajar Pada Petani

Hampir pukul 3 sore ketika seorang pria datang tergopoh-gopoh ke sekretariat Paguyuban Tani Sri Rejeki (PTSR). “ Maaf agak terlambat, murid-murid saya sebentar lagi ujian, saya harus nge-les dulu” ujarnya usai memarkir motor Cina yang setia menjadi tunggangan sehari-hari. Hari ini pengurus Paguyuban Tani Sri Rejeki, Desa Bantarsari Cilacap, mengadakan rapat rutin bulanan untuk membahas perkembangan organisasi, dan Suratno Akhmad, nama pria yang baru datang, harus memimpin rapat.
Mas Ratno, begitu dia sering disapa, adalah sekretaris PTSR, organisasi tani yang sedang menghadapi konflik agraria. Sampai saat ini Mas Ratno sudah dua kali terpilih menjadi sekretaris organisasi,sejak organisasi berdiri pada tahun 2000. “Kami mempunyai sejarah yang panjang dengan tanah ini, sebelum seperti ini (persawahan-red) tanah ini adalah rawa-rawa yang tidak produktif, kamilah yang mengubahnya menjadi lahan subur dan produktif” ujarnya menjelaskan alasan petani mempertahankan garapan.
Mas Ratno cukup beruntung, jika umumnya petani tidak mengenyam pendidikan tinggi, lain halnya dengan Mas Ratno, dia berhasil menyelesaikan studi di Fakultas Ushuludin, IAIN Gunung Jati Bandung dan memperoleh gelar Sarjana Agama. Dengan bekalnya menimba ilmu, dia juga menekuni profesi sebagai seorang guru di yayasan pendidikan Muhamadiyah.
“Sebagai manusia, kita mempunyai kewajiban untuk menolong manusia lain keluar dari kesulitannya” kata Ratno. Aktifitasnya dalam organisasi dimaknai sebagai implementasi konsep tersebut. Dia ingin ingin ilmu yang dimilikinya bisa membantu menyelesaikan sengketa agraria antara PTSR dan Pemerintah Kabupaten Cilacap di tanah eks perkebunan NV. Rubber Culturr Maatschappy Kubangkangkung seluas 84,59 ha. Melalui organisasi tani inilah Mas Ratno ingin berguna bagi petani penggarap di desanya, karena bagi Mas Ratno, sebaik-baik manusia adalah manusia yang berguna bagi sesama.
Saling Belajar
Berinteraksi dengan petani bagi Mas Ratno sama dengan proses belajar yang tiada henti. Petani adalah sumber inspirasi yang selalu mengalir.” Mereka mengajari saya tentang hidup yang sesungguhnya, bagaimana menyelesaikan masalah dan mensyukuri nikmat” ujarnya. Karena itulah pada setiap pelajaran yang diberikannya di sekolah, dia selalu menekankan kebanggaan menjadi anak petani dan profesi petani. Diceritakan kepada murid-muridnya bahwa petani adalah manusia orang yang dinamis, mau bekerja dan belajar keras. Karena itulah petani bukan pekerjaan rendahan, tidak kalah bergengsi dengan pekerjaan lain di kota besar.
Agamanya mengajarkan bahwa sebaik-baik pekerjaan adalah pekerjaan yang menghidupi orang banyak, membawa manfaat bagi kehidupan. Menjadi petani menurutnya adalah perkerjaan yang membawa manfaat bagi sesama.
Lahir dengan nama Akhmad Suratno, anak petani di Bantarsari pada tanggal 12 September 1972. Sebagai anak petani dia menyadari betul bahwa tanah adalah ruh petani, kebutuhan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Masa SD dilewatkan di Bantarsari, SMP dan SMA-nya dijalani di Gandrungmangu, kota kecamatan di sebelah desanya.
Dinamika di organisasi tani membuatnya sadar bahwa banyaknya petani yang tidak mempunyai lahan garapan bukan hanya persoalan tidak mempunyai cukup modal untuk membeli tanah. Tapi ada persoalan struktural yaitu pemerintah tidak pernah serius melaksanakan reforma agraria yang menjamin tersedianya tanah garapan untuk petani. Seperti aktifis organisasi tani lain, Mas Ratno juga berjuang agar pemerintah secepatnya merealisasikan program revitalisasi pertanian yang mencakup pelaksanaan reforma agraria seperti diamanatkan UUPA.
Saat ini Mas Ratno dikaruniai dua orang putri. Jihan Arkani Fauziah dan Mutiara Tsani dari seorang istri Siti Nurkhasanah. Dengan keluarnyanya inilah dia harus berkompromomi dan memberi penjelasan bahwa aktifitas organisasi memang menyita waktu.
Beruntung dia mempunyai istri yang memahami aktifitas organisas, maka tak menjadi masalah jika dia sering ditinggal malam-malam untuk menghadiri rapat dan koordinasi organisasi.[]

Lonceng Kematian Petani Indonesia

Bagaimana negara yang pernah berswasembada beras menjadi pengimpor beras terbesar di dunia? Inilah pengalaman yang pernah dialami oleh negara kita. Susah payah membangun swasembada beras, tiba-tiba runtuh oleh badai krisis akhir 90-an. Bahkan di tahun anggaran 1998/1999 Indonesia menjadi pemimpor beras tersebesar di dunia, waktu itu Indonesia mengimpor beras sebanyak 4,8 juta ton. Sampai kini Indonesia menjadi pembeli beras terbanyak di dunia, 10 persen dari jumlah yang diperdagangkan di dunia masuk dalam pasar produk pertanian dalam negeri. Menurut Bonie Setiawan, dalam buku Globalisasi Pertanian, bila ketergantungan pada impor beras terus naik, maka Indonesia akan terus menjadi pemimpor beras terbanyak selamanya.
Bagaimana hal ini bisa terjadi? Untuk menjawabnya kita harus mengurai lebih banyak pernak-pernik dunia pertanian tanah air. Khusunya kebijakan pemerintah dalam bidang pertanian yang menjadi persoalan mendasar pertanian kita. Di negeri ini, kebijakan pertanian begitu kompleks, rumit dan sarat kepentingan pihak, dari petani, pejabat, perusahaan besar, sampai para pemburu rente. Mereka ribet dengan urusannya masing-masing, kongkalikong dan memburu keuntungan paling tinggi.
Karena ruwetnya kebijakan pertanian di negeri ini, kita hampir tiap tahun mengalami kenaikan harga beras, kelangkaan pupuk di pasaran, anjlognya harga gabah, dan persoalan lain yang merugikan masyarakat. Seperti diakhir 2006, harga beras melonjak lebih dari 30 persen. Khusus mengenai lonjakan harga beras tahun ini, Bustanul Arifin seorang guru besar pertanian dari Universitas Lampung mengatakan bahwa pemerintah menerapkan manajmen yang buruk dalam mengurusi beras. Menurutnya, persoalan mendasar dalam menajemen stok pemerintah adalah tidak adanya penanggungjawab atas pengadaan beras dan bagaimana pengadaan dilaksanakan. Setiap daerah, menurutnya harus mempunyai cadangan stok beras yang diadakan oleh pemerintah pusat dan daerah (Kompas 14 Desember 2006). Hampir senada, Faisal Basri, seorang pengamat ekonomi menilai bahwa memahami kenaikan harga beras sesungguhnya tidak terlalu rumit. Kejadian ini sudah berulangkali dan seperti telah menjadi ritual tahunan. Namun penyelesaiannya tidak pernah kunjung tuntas, jurus yang itu-itu saja, yakni membuka kran impor beras. Akibatnya seribu satu masalah yang menjadi penyebab karut marutnya dunia perberasan tak kunjung ditangani dengan seksama (Kompas. 18 desember 2006).
Siapa yang dirugikan, tentu saja petani dan masyarakat pedesaan lain. Mereka adalah golongan paling lemah dalam konstelasi ekonomi pertanian nasional. Importir beras, pedagang besar, perusahaan-perusahaan multinasional yang menguasai benih, pupuk, obat-obatan, mesin pertanian, tanaman transgenik, penguasa tanah besar tentu bukan lawan yang seimbang bagi petani kita. Rata-rata petani kita hanya menguasai kurang dari 0,3 ha, selain jutaan petani lainnya yang tidak mempunyai tanah, bagaimana mungkin mereka melawan oranng-orang dan perusahaan yang mempunyai modal jutaan kali lipat.
Liberalisasi Pangan
Mulai tahun 1995 Indonesia masuk pada perjanjian pertanian (Agreement on Agriculture) World Trade Organization. Perjanjian ini adalah perjanjian yang mengikat secara hukum dan harus ditaati oleh negara yang mengikutinya. Dengan mengikutinya, Indonesia berkewajiban untuk pertama, mengurangi dukungan domestic. Dukungan domestic ini biasanya diberikan pemerintah kepada petani dalam bentuk kredir lunak dan subsidi input bahan-bahan pertanian. Setelah perjanjian ini, sedikit-demi sedikit bantuan pemerintah tersebut akan dikurangi sampai akhirnya dihapus sama sekali. Kedua pengurangan subsidi ekspor. Dengan pengurangan ini, petani kita dibiarkan pemerintah untuk menghadapi pemain-pemain besar pemasar produk pertanian. Ketiga, perluasan akses pasar yang diartikan sebagai penghapusan seluruh hambatan impor dan dikonversi dalam bentuk tariff. Tariff ini nantinya akan dikurangi sebesar 36 persen bagi negara maju, sementara bagi negara berkembang, tariff impor akan dikurangi 24 persen dalam jangka waktu 10 tahun dan pengurangan minimum 10 persen.
Selain Agrement On Agriculture, adalagi beberapa perjanjian internasional yang merugikan petani kita. Misalnya TRIPs, adalah perjanjian yang mengatur tentang Hak Atas Kekayaan Intelektual dalam bidang perdagangan. Perjanjian ini mewajibkan setiap negara untuk memberikan paten terhadap produk dan proses atas penemuan-penemuan di bidang biotekhnologi, termasuk lingkup pangan dan pertanian. Artinya Negara harus mengakui paten atas tanaman-tanaman dan bibit yang kebanyakan berada di negara dunia ke-tiga, dan sebaliknya tidak mengakui hak-hak komunitas setempat atas sumber daya mereka sendiri. Celakanya, perusahaan-perusahaan multi nasional sekarang telah menguasai 97 persen paten di dunia. Jika hal ini terus terjadi, bisa jadi petani kita yang ada di desa-desa harus membeli bibit Jagung pada perusahaan besar Mosanto di Amerika sana, atau membeli bibit padi pada perusahaan agrobisnis raksasa lain.
Isu lain yang berkaitan dengan liberalisasi pertanian di dunia adalah perjanjian SPS (Sanitasi dan Fitonisasi) yaitu perjanjian mengenai aturan karantina barang-barang impor pertanian untuk perlindungan terhadap kesehatan manusia, tanaman dan hewan, yang harus sesuai dengan standar-standar kesehatan yang bisa dibenarkan secara ilmiah. Dalam perjanjian ini, WTO menunjuk badan yang bernama Codex Alimentaius yang diurus oleh WHO dan FAO. SPS ini banyak dipakai oleh negara maju sebagai penghalang akses pasar produk pertanian dari negara-negara dunia ketiga. Standar ini sangat mahal untuk diterapkan di negara berkembang dan tidak sesuai dengan kebutuhan. Akibatnya banyak produk pertanian dari negara berkembang yang tidak bisa masuk ke negara maju karena standar yang tidak bisa dipenuhi oleh pertanian skala kecil dan tradisional.
Hampir serupa dengan perjanjian Sanitasi dan Fitonasi adalah TBT (Technical Barriesrs to Trade). Perjanjian ini mengatur standarisasi baik yang bersifat mandatory (wajib) maupun yang bersifat voluntary yang mencakup karakteristik produk; metode dan proses produk; terminology dan simbol; serta persyaratan kemasan (packaging) dan label (labeling) suatu produk. Ketentuan ini ditetapkan untuk memberikan jaminan bagi kualitas suatu produk ekspor, memberikan perlindungan terhadap kesehatan dan keselamatan manusia, hewan, tumbuhan dan lingkungan hidup. Pertanjian TBT ini mewajibkan para anggotanya untuk menggunakan standar internasional sebagai dasar penetapan standar, seperti dengan ISO dan lainnya.
Petani Kecil Makin Terpinggirkan
Petani di Indonesia oleh program revolusi hijau terlanjur diarahkan pada bentuk pertanian yang berasupan tinggi (high external input). Dengan model pertanian seperti ini, tidak bisa dipungkiri bahwa kebutuhan petani akan input luar seperti benih, pupuk, racun pada hama dan penyakit tanaman sangat tinggi. Apa jadinya jika pemerintah mengurangi subsidinya pada bahan-bahan ini? Petani akan menanggung kenaikan biaya produksi dan usaha tani akan memerlukan modal yang sangat besar walaupun pada skala kecil dan tradisional. Mana mungkin petani kita mampu menyediakan modal dalam jumlah yang besar sementara kredit-kredit usaha tani juga dipangkas pemerintah. Tentu saja produktifitasnya menurun, dan merugi.
Hal diatas baru kerugian petani kita dalam proses produksi, bagaimana dengan pemasaran hasil pertanian mereka? Ambil contoh harga beras, apakah harga beras yang mahal berarti juga peningkatan kesejahteraan petani? Ternyata tidak, jika sekarang kita merasakan harga beras yang mahal, ternyata kenaikan harga beras tidak dinikmati oleh petani. Mereka tetap saja membeli beras dengan harga mahal karena hasil pertanian mereka terlanjur dijual dengan harga murah. Harga jual gabah di tingkat petani belum mampu mengangkat taraf hidup petani, kenaikan harga jual gabah tidak semimbang dengan laju inflasi dan selalu tertinggal jauh dari kenaikan barang konsumsi selain pertanian. Perjanjian yang ditandatangani pemerintah dalam bidang pertanian juga membuka kran impor beras, akibatnya harga beras di pasar lokal hancur dan nanti juga akan berakibat pada sistem pengadaan pangan lokal dari dalam negeri. Impor beras sebenarnya hanya ditujukan untuk mengendalikan harga beras dan menambah stok di daerah-daerah rawan pangan, namun kenyataannya daerah yang surplus seperti Lampung, Sumatra Utara, Jawa Tengah, Karawang, Indramayu juga kedatangan beras impor. Tentu saja, harga beras dan gabah di daerah tersebut hancur, dan petani mengalami kerugian.
Sesungguhnya, banyak pihak yang telah menyadari ketidakadilan dalam mekanisme perdagangan produk pertanian internasional ini. Dalam perdagangan ini, mereka hnya melihat dominasi negara-negara maju dan perusahaan agrobisnis raksasa. Misalnya Vatikan, pimpinan tertinggi umat Katolik dunia ini mengeluarkan pernyataan perlunya reformasi perdagangan dunia. Menurut Vatikan, peraturan-peraturan perdagangan seharusnya disesuaikan dengan komitmen yang lebih luas untuk mengembangkan umat manusia dan untuk mengangkat standar kehidupan masyarakat miskin. Khusus untuk kesepakatan perdagangan pertanian, Vatikan meminta agar menjadikannya tes moral dan ekonomis karena hasilnya nanti tidak hanya untuk kepentingan kehidupan banyak petani dan keluarga kecil, tetapi juga untuk keseluruhan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan yang berkelanjutan di negara-negara berkembang. Negara-negara berkembang seharusnya mampu mengekspor produk mereka ke negara-negara maju tanpa hambatan tarif atau hambatan apapun, dan negara berkembang juga tidak diharuskan untuk membuat komitmen yang tidak sesuai dengan status ekonomi dan pembangunan mereka.
Terakhir Paus Benediktus XVI mengemukakan keprihatinannya terhadap para petani kecil: ‘Tidak boleh dilupakan bahwa kerentanan kawasan pedesaan memiliki dampak yang sangat besar terhadap keberlangsungan hidup para petani kecil dan keluarga mereka’, katanya. Paus juga meminta adanya rasa ‘solidaritas’ dalam Konferensi Tingkat Menteri WTO lalu dan adanya perlindungan khusus melalui mekanisme pengamanan bagi kaum miskin, keluarga-keluarga di daerah pedesaan, dan, khususnya, kaum perempuan pedesaan dan anak-anak. Paus juga menunjukkan ‘pentingnya untuk membantu komunitas-komunitas asli di pedalaman karena mereka juga sering menjadi subyek apropriasi untuk kepentingan keuntungan semata’.